Anak itu, Inspirasiku
Oleh Yun De'Yun*
Diri ini belajar dari seorang anak kecil yang periang dalam menapaki
masa kecil menuju masa dewasanya kelak. Aku memperhatikan polah laku
tubuhnya yang mungil. Aku berfikir betapa cerdasnya anak ini, bukan
cerdas otak, tapi cerdas hati.
Aku belajar menjadi orang ramah dan
peduli dari anak kecil itu, dimana setiap dia bertemu dengan orang, dia
selalu menyapa dengan senyuman di wajah imutnya sembari bertanya “ mau
kemana?” atau “ sedang apa?”. Mungkin beberapa orang akan menganggap
pertanyaan itu sebuah gangguan dari anak kecil yang mau tahu urusan
orang lain. Tapi ada juga orang yang berpendapat, orang yang intelegent
tentunya, itu adalah bentuk keaktifan dari seorang anak kecil yang mulai
belajar berkomunikasi. Tapi aku memandang lebih dari itu. Itu sebuah
pembelajaran untuk menjadi pribadi yang ramah tamah dan peduli dengan
sesama. Pelajaran berharga untuk pribadi-pribadi acuh tak acuh seperti
kebanyakan kaum muda saat ini. Pelajaran berharga untuk pribadi-pribadi
yang mulai terbaur dengan gaya hidup yang jauh dari ciri khas bangsa
ini_ramah.
Aku belajar menjadi pribadi yang selalu berusaha
berjuang dalam setiap cobaan apa pun yang Tuhan berikan. Menerima dan
menjalani dengan ikhlas. Aku pun juga belajar dari anak itu. Aku
memperhatikan dia ketika dia bermain petak umpet dengan teman-temannya.
Bermain dengan riangnya, meskipun dia tidak tahu apakah temannya akan
menemukannya dalam persembunyian atau tidak. Dia pun juga tak tahu
apakah dia akan mendapat giliran jaga berikutnya dan harus bisa
menemukan teman-temannya yang lain agar ia bisa menang. Dia tidak tahu,
tapi dia menjalani dengan riangnya. Yang ia bisa hanya berusaha untuk
mencari tempat yang aman agar temannya tak bisa menemukannya dan berdo’a
agar dia tidak mendapat giliran menjadi sang Penjaga.
Dia
memberiku pelajaran tentang bagaimana cara menyikapi hidup dan cobaan.
Enjoy, berusaha, berdo’a dan positif thinking. Pelajaran yang sangat
berharga untuk pribadi-pribadi yang selalu bertanya “kenapa harus aku?”
ketika mendapat cobaan yang ia rasa terlalu berat untuk diselesaikan.
Padahal Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan diluar batas kemampuan
hamba-Nya. Itu adalah pelajaran yang berharga untuk pribadi-pribadi
yang selalu negative thinking, berfikir bahwa Tuhan itu tak adil.
Aku
belajar menjadi orang yang peka dengan keadaan orang-orang sekitar. Aku
belajar menjadi orang yang suka membantu orang lain tanpa pamrih. Aku
belajar dari anak kecil berusia delapan tahun itu. Aku kagum dengan dia
ketika tanpa diminta dan disuruh pun dia dengan sadar diri membantu
orang lain. Ketika itu ayah, ibu, adikku dan aku sedang memanen sawi,
tanpa diminta anak kecil itu menghampiri kami ketika dia bermain di
sawah. Dia dengan sangat cekatan membantu kami memanen sawi. Kata ayah
kerjanya lebih bagus daripada adikku yang usianya lima tahun lebih tua
darinya.
Aku memperhatikan dia, betapa mengagumkannya anak ini.
Mungkin bagi beberapa orang itu hal biasa, tak ada istimewa, karena
mungkin mereka memandang sebelah mata dan tidak membandingkannya dengan
kondisi para tulang punggung negara sekarang ini yang keracunan virus
individiualism. Bagiku anak itu mengagumkan. Jika para generasi penerus
bangsa seperti anak itu, maka berjayalah bangsa ini. Bekerja tanpa
diminta, cekatan dan benar sesuai aturan.
Aku belajar darinya
untuk membantu tanpa pamrih. Sederhana. Melihat kerja yang bagus, ayah
bertanya pada anak itu tentang apa yang ingin dia minta dari ayahku. Apa
katanya? Bukan permen yang ia sebut, es cream atau pun uang bahkan
mainan. Tapi yang dia inginkan hanyalah beberapa helai sawi untuk sayur
saat buka puasa. Luar biasa, hanya itu. Saat itu pun dia sempat menyebut
ibunya, mungkin dalam hatinya sudah timbul rasa ingin membantu
orangtuanya mencari makan. Subhanallah.
Aku belajar dari anak itu
untuk menerima ketetapan rejeki yang Tuhan beri. Mensykurinya sekecil
apapun itu. Dia bercerita tentang menu makanan buka puasanya bedug itu.
Dengan wajah sumringah penuh energy dia berkata sayur dan mie instan
menunya siang itu. Hanya itu?! Aku terheran, hanya dengan sayur dan
sedikit mie instan dia sudah nampak sangat bahagia penuh syukur. Sempat
aku berfikir dia senang mungkin karna dia sangat lapar, jadi apapun
makanannya akan terasa nikmat. Tapi terlintas dalam ingatanku tentang
cerita ibuku, bahwa keluarga anak itu memang keluarga yang pas-pasan.
Bapaknya yang hanya seorang buruh tani yang harus menghidupi ketiga anak
dan istrinya. Bukan amanah yang mudah karena harus menghidupi orang
sebanyak itu. Tapi Subhanallah,meskipun hidup pas-pasan,tapi keluarga
kecil itu saling berkasih sayang dengan kesederhanaan.
Pelajaran
yang luar biasa untukku dan sangat luar biasa untuk para pejabat di
negeri ini. Aku yang sering mengeluh jika lauk makananku hanya tempe dan
tahu padahal ayah ibuku hanya seorang tani. Keluargaku pun hanya hidup
pas-pasan meskipun sampai saat ini orangtuaku masih sanggup membiayai
kuliahku. Tapi sombongnya diri ini pada diri sendiri. Astaghfirullah,
semoga Allah mengampuniku. Andaikan kepribadian para pejabat negeri ini
seperti anak itu, tentulah predikat Negara koruptor tidak disandang
negeri ini.
Aku belajar untuk menjadi anak yang
sholeh dan semangat menuntut ilmu agama pun juga tidak terlepas dari
anak itu. Meskipun usianya baru sekitar tujuh tahun, tapi semangatnya
luar biasa. Dia sangat rajin mengaji di sebuah TPA di lingkunganku.
Semangatnya luar biasa, tak kalah dengan kakaknya yang berumur sebelas
tahun. Tak kenal waktu, anak itu tetap semangat pergi ke masjid untuk
menuntut ilmu. Yang ku tahu dia ingin sepintar kakaknya dalam mengaji.
Subhanallah.
Kapanpun dan dimanapun kita berada,
banyak pelajaran yang bisa kita ambil dan kita jadikan sebagai bahan
introspeksi hingga motivasi. Entah itu dari siapa. Mungkin dari seorang
tukang parkir, tukang becak, tukang sampah, sahabat-sahabat kita, hingga
para ustad, dan Rasulullah sebagai puncak suri tauladan kita. Hidup
adalah proses belajar, belajar menerima meskipiun tak cukup, belajar
setia meskipun banyak godaan menerpa, belajar sabar meskipun diri sudah
mulai kelelahan. Perjuangan belum berhenti sampai di sini, berjuang
sampai mati, hanya satu tempat istirahat kita, surga Ilahi.
Ku persembahkan catatan ini untuk orang-orang terkasih, sahabat-sahabat
seperjuangan dan saudara seiman yang masih peduli dengan dien ini serta
bagi para generasi penerus bangsa. Ku tulis dari inspirasi yang ku
perolah dari anak kecil bernama Taufan dan beberapa nasehat yang ku
peroleh.
*) Penulis adalah salah satu Ustadzah di SDIT Binaul Ummah.