Sebuah tulisan yang kami ambil dari tulisan Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Ya, siapa yang tak kenal beliau. Tulisa...
Sebuah tulisan yang kami ambil dari tulisan Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Ya, siapa yang tak kenal beliau. Tulisannya banyak menginspirasi. Semoga kisah ini bisa menjadi renungan bagi kita semuanya.
Ada seorang pakar parenting mengajarkan ke murid-muridnya, bahwa
sebelum mengajarkan suatu surat di Quran, ajaklah si anak untuk melihat
alam sekitar. Ajaklah anak melihat kala fajar merekah, lalu lantunkanlah
surah Al Falaq. Ajak ia ke kebun binatang melihat gajah, lalu
ajarkanlah surah Al-Fiil. Pakar parenting ini kemudian membarikan lebih
banyak contoh lainnya, seperti pengenalan buah-buahan,
dan lain sebagainya. Dan metode yang dikenalkan sang pakar tersebut
ternyata tidak lain tidak bukan adalah untuk membangun deep
understanding.
Untuk membangun pemahaman yang mendalam dan menyeluruh (deep
understanding) tentu memerlukan usaha, waktu, dan energi yang lebih
banyak. Namun justru membangun deep understanding inilah yang disebut
sebagai belajar yang sesungguhnya. Seringkali, beberapa orang tua dan
pendidik lebih menyukai cara yang instan dengan hanya mengenalkan
hafalan saja, dan ini tidak tepat. Artikel Rhenald Kasali kali ini akan
membahas tentang bagaimana seharusnya ilmu itu diraih, lewat deep
understanding.
Deep Understanding
Salah satu teka-teki yang masih saya ingin tahu jawabannya –
sepanjang lebih dari 25 tahun menjadi pendidik adalah: mengapa anak-anak
kita kesulitan mengungkapkan isi pikirannya. Maksud saya, kalau diberi
pertanyaan, kok jawabannya pendek sekali dan ingin cepat-cepat selesai.
Selain tidak argumentatif, terasa miskin dalam konsep. Di Harvard
Michael Porter, guru besar ilmu manajemen terkemukan yang menularkan
metode pengajaran partisipatif pernah memberi tahu resepnya. “Ajukan
cold call, tunjuk seseorang secara mendadak, lalu gali perlahan-lahan.
Mereka mungkin kurang siap, tetapi buatlah sebersahabat mungkin agar
mereka nyaman berbicara.”
Saya pun menerapkannya, dan ternyata hanya berhasil di tingkat
pendidikan S2 dan S3. Di tingkat S1, saya butuh waktu banyak sekali
untuk menggali dan mengeluarkan isi pikiran mahasiswa saya. Dan kalau
dikejar lebih jauh mereka menjawab seragam: “ya gitu deh!” Dan kalau
sudah mentok, keluarkanlah jargon asyiknya: “Au ah, gelaap…”
Tetapi saya tidak menyerah. Sampai dipertengahan semester, satu
persatu mulai berani memberi jawaban yang agak panjang, lebih panjang,
lebih menyatu dan sistematis. Dan tahukah Anda, disitulah letak
kebahagiaan seorang pendidik, yaitu saat anak-anaknya mendapatkan apa
yang disebut “deep understanding”
Hubungan Kompleks
Orang dewasa seperti Bapak dan Ibu yang telah lulus menjadi Sarjana
dan bekerja, barangkali pernah merasakan betapa sulitnya memahami
hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah teori. Nah, kemampuan
seorang anak menangkap hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah
teori atau konsep itulah yang kita sebut sebagai deep understanding.
Jadi bukan sekedar tahu banyak hal namun serba sedikit.
Bukanlah sekedar menguasai permukaan-permukaaan saja yang ngepop,
atau sekedar fragmented pieces of information. Deep understanding sangat
diperlukan dalam dunia pendidikan, dan untuk itulah seorang guru
dituntut untuk bersabar dan memeriksa apakah betul murid-muridnya sudah
paham dan bisa mengerjakannya.
Pendidikan seperti itulah yang sebenarnya dirindukan anak-anak kita.
Bukan seperti sekarang yang dikenal anak-anak dengan istilah SKS (Sistem
Kebut Semalam). Guru-guru yang bijak tahu persis otak manusia
memerlukan waktu untuk merangkai satu elemen dengan elemen-elemen
lainnya. Ibarat orang membuat kue lapis legit, dibuatnya harus dengan
penuh kesungguhan, dari selapis tipis yang satu ke lapisan tipis
berikutnya.
Sebaliknya , metode sistem kebut satu malam yang banyak dianut dewasa
ini sepertinya sangat mengabaikan kapasitas belajar para murid. Guru
ingin cepat-cepat berpindah dari satu halaman ke halaman berikutnya.
Penjelasan-penjelasan mendasar sebuah konsep sering terputus, sehingga
anak-anak kesulitan memahami suatu konsep secara mendalam. Cara seperti
ini sungguh kejam. Ibarat sopir metro mini atau taksi liar, guru bisa
dipacu menjadi ”sopir tembak” yang ugal-ugalan ”kejar setoran”.
Tidak mengherankan bila menjelang ujian, guru, dan murid sama-sama
panik. Guru-guru yang cerdik tentu tak kehilangan akal, digunakanlah
dulu yang kita kenal sebagai ”jembatan keledai” saat ujian di SLTA dulu
tentu mengerti mengapa disebut demikian.
Guru dan murid telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam
pendidikan, yaitu waktu. Kita tak bisa menyimpan waktu, apalagi
membelinya. Tetapi kita tidak bisa memberi mereka waktu yang lebih
banyak untuk pendalaman suatu konsep. Caranya sederhana saja,
rampingkan jumlah mata ajaran yang harus diberikan dan berikan metode
yang lebih aktif – kolaboratif.
Saya sering diprotes oleh orang-orang yang khawatir mata ajarnya
tidak relevan lagi bila pemerintah kelak mendengarkan tulisan reflektif
ini dengan mengurangi jumlah mata ajaran yang harus diambil para murid.
Tetapi selalu saya katakan kita harus berani berkata jujur bahwa
anak-anak kita telah mengalami penyiksaan otak yang rawan. Dan impaknya
sudah kita rasakan saat ini dengan beredarnya orang-orang bergelar
hebat, pintar, tahu banyak, tetapi selalu bingung harus bergerak kemana
dan harus memulai dari mana.
Kreatif dan Reflektif
Saat menulis kolom ini saya pun tengah membongkar-bongkar
program-program belajar dari berbagai sekolah di manca negara. Bila
disimak tulisan-tulisan saya dua minggu terakhir,
perampingan-perampingan telah diambil sejumlah bangsa dalam beberapa
tahun terakhir ini.
Di sebuah sekolah di Jepang saya menemukan sebuah buku pedoman
belajar dengan tujuh pilar, yaitu: Berpengetahuan dengan ” deep
understanding,” mampu berpikir kompleks dan menjadi pemecah masalah,
kreatif namun reflektif, menjadi kontributor yang bertanggung jawab,
termotivasi dan terkendali, independen namun interdependen, dan mampu
menjadi komunikator yang efektif.
Ketika saya masukan kata-kata kunci di atas di mesin pencari di
internet, saya pun menemukan kesamaan dari banyak sekolah di
negara-negara maju bahwa melahirkan orang kreatif saja tidak cukup,
namun juga harus menjadi kontributor yang bertanggung jawab dan
reflektif. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita membentuk
manusia-manusia seperti itu? Anda mungkin mulai merasakan
kegalauan-kegalauan saat orang-orang kota yang sudah memiliki kendaraan
(roda dua maupun roda empat) tidak bisa membedakan (bahkan tidak tahu
cara memakai) antara klakson dengan rem. Saat posisi di jalan raya
kejepit atau tidak bisa menyusul, bukan rem yang dipijak, melainkan
kelakson.
Saya tidak tahu apa jawaban yang harus diberikan untuk membuat
seseorang menjadi hebat, tetapi mungkin saya tahu apa kunci kegagalan
yang akan dialami bangsa ini. Yaitu, saat kita merasa bangga dengan
banyak pelajaran yang kita dapatkan, padahal semua itu hanya
kulit-kulitnya saja. Hanya sepotong-sepotong, miskin pendalaman dan
tidak reflektif.
source : sindo