Guru adalah arsitek peradaban. Begitulah salah satu pepatah penting yang melekat pada guru (sang pembangun insan cendekia). Kebe...
Guru
adalah arsitek peradaban. Begitulah salah satu pepatah penting yang melekat
pada guru (sang pembangun insan cendekia). Keberhasilan seorang guru adalah
ketika telah berhasil memberikan hati dan kepribadiannya dalam mendidik
siswa-siswinya. Jamil Azzaeni pernah mengatakan “Jika pengalaman adalah salah
satu GURU terbaik. Maka, menjadi seorang GURU adalah salah satu pengalaman
terbaik”. Karena melalui peran gurulah yang mengantarkan putra putri generasi
penerus bangsa berani bercita-cita hingga berhasil mencapai impiannya tersebut.
Tapi, sudahkah mereka menjadi guru yang terbaik bagi peserta didiknya? Karena
tugas seorang guru bukan hanya sekedar mengajar materi dari ‘tidak tahu’
menjadi ‘tahu’. Mendidik karakter, membimbing dengan penuh kasih sayang, dan
membina peserta didik dengan penuh ketulusan juga merupakan tugas dari seorang
guru.
Apa
yang akan terjadi jika sekolah menjadi tempat yang menakutkan bagi siswanya?
Jika ada siswa yang salah, maka harus dipukul dengan rotan. Jika ada siswa yang
mendapat nilai jelek, juga harus dipukul dengan rotan. Siswa membolos, maka
hukumannnya adalah pukulan rotan. Siswanya dicap pahe (keras kepala),
bodoh, nakal, atau bandel. Yang paling kacau adalah jika ada guru yang dikenal
galaknya dan suka menghukum siswanya. Sementara guru tersebut jarang masuk
kelas mengajar. Terkadang siswa tersebut ada yang menangis karena mendapat
pukulan. Apakah boleh, guru memukul siswanya dengan rotan? Tentunya tindakan
guru tersebut pasti ada alasannya, mungkin siswanya bandel, kurang disiplin,
dan sebagainya. Tapi, apakah hukuman itu harus dengan pukulan? Karena pukulan
tentunya akan berdampak pada kondisi psikologis siswa. Apakah semua masalah
siswa harus diselesaikan dengan rotan? Tak peduli siswa yang salah atau
sebenarnya guru tersebut yang salah. Padahal rotan tak selamanya menjadi
senjata yang menakutkan bagi siswa, tapi rotan bisa menjadi emas jika guru bisa
mengelola siswa dengan baik dan benar. Disinilah perlunya guru melakukan
refleksi. Sudahkah mengajar dan mendidik peserta didiknya dengan penuh cinta
dan kasih sayang?
Munif
Chatib dalam bukunya yang berjudul Gurunya Manusia, mengelompokkan guru
menjadi tiga jenis dilihat dari faktor kemauan untuk maju, yaitu guru robot,
guru materialistis dan gurunya manusia. Pertama, Guru Robot, yaitu
guru yang bekerja persis seperti robot. Mereka hanya masuk kelas, mengajar,
lalu pulang. Mereka hanya peduli pada beban materi yang harus disampaikan
kepada siswa. Mereka tak punya kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam
menerima materi, apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru dan sekolah
pada umumnya. Mereka tidak peduli dan mirip robot yang selalu menjalankan
perintah sesuai program yang sudah disusun. Kedua, Guru Materialistis,
yaitu guru yang selalu melakukan perhitungan, mirip dengan aktivitas bisnis
jual-beli. Parahnya, yang dijadikan patokan adalah hak yang mereka
terima, barulah kewajiban mereka akan dilaksanakan sesuai hak yang mereka
terima. Pada awalnya, guru merasa professional, tetapi pada akhirnya akan
terjebak dalam kesombongan dalam bekerja sehingga tidak tampak manfaatnya dalam
bekerja. Ketiga, Gurunya Manusia, yaitu guru yang punya
keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target
pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang
diajarkan. Guru yang ikhlas, akan berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak
memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab
mereka sadar, profesi guru tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang
keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan pengembangan
kompetensi.
Begitulah
pendapat Munif Chatib mengenai guru robot, guru materialistis dan gurunya
manusia. Dimanakah posisi kita? Jawabannya ada di hati masing-masing guru.
Semoga semua guru senantiasa melakukan refleksi diri dalam menjalankan tugasnya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Evaluasi diri dan perbaiki diri dengan
senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesionalitas dalam mengemban
amanahnya tersebut. Refleksi diri agar bisa menjadi Gurunya Manusia. Jangan
jadi guru, jika tak mau mengajar. Jangan jadi guru, jika malas datang ke
sekolah. Sekali masuk, kasih buku ke siswa, ditinggal, lalu masuk kantor dan
pulang. Berangkat telat, dan pulang lebih awal. Semoga tidak ada lagi guru yang
bertipe seperti itu. Karena jika ada, pasti yang rugi adalah siswanya,
sekolahnya dan tentunya citra guru itu sendiri. Sekali lagi jika tak siap
menjadi guru, mending alih profesi lain. Kasih kesempatan itu kepada orang lain
yang sanggup dan lebih bisa mengemban amanah sebagai guru. Karena menjadi guru
itu butuh tekad, ketulusan hati dan komitmen yang tinggi dalam membimbing para
peserta didiknya. Karena guru menjadi kunci utama penentu keberhasilan
pendidikan di negeri ini. Kalau bukan guru, siapa lagi? Bahagialah menjadi guru,
karena setiap langkahnya menjadi amal yang mulia. Bangga jadi guru. Guru
berkarakter, menggenggam Indonesia.
Sumber : http://kantorberitapendidikan.net