Pagi itu Rafa kembali mengamuk. Dengan keras ia menggebrak meja di depannya. Teman sebangkunya sontak kaget bukan kepalang. Ini sudah...
Pagi itu Rafa kembali mengamuk. Dengan keras ia menggebrak meja di depannya. Teman sebangkunya sontak kaget bukan kepalang. Ini sudah ke sekian kalinya ia menunjukkan sikap tidak sportifnya.
Setiap kali ada game atau lomba, jika ia
atau timnya kalah, ia akan marah. Tidak menerima kekalahan. Ini sudah
berlangsung sejak ia duduk dibangku kelas 1. Akhirnya berbagai
alasanpun dikeluarkannya.
Raffa adalah anak yang pandai. Bahkan
bisa dibilang ia adalah anak terpandai di kelasnya. Nilai ulangan
hariannya hampir semua perfect. Bahkan waktu kelas 3 semester 1 nilai
bahasa inggris dirapornya 100. Hasil akumulasi nilai harian, tugas, mid
semester dan semester. Dari kelas 1-3 ia selalu menjadi juara kelas.
Hal ini cukup untuk menyimpulkan bahwa ia adalah anak yang cerdas
secara akademik.
Raffa memiliki jiwa kompetisi yang bagus.
Tekad kerasnya untuk selalu menjadi nomor 1, membuatnya rajin dan
semangat dalam belajar. Ia akan memantau dengan jeli kemampuan para
kompetitornya di kelas. Sehingga akhinya ia bisa mengerucutkan nama-nama
siswa yang akan menjadi saingan beratnya dalam hal akademik. Salah satu
yang ia lakukan adalah mencatat seluruh nilai ulangan umum yang
diperoleh teman (kompetitor) nya sehingga ia bisa membandingkan antara
nilai miliknya dan kompetitor kelasnya. Tak segan ia menanyakan kepada
yanda bundanya berapa nilai yang diperoleh oleh para ‘kompetitor’nya.
Ya, ia adalah Raffa. Dibalik kemampuan
akademiknya yang luar biasa, anak ini memiliki masalah dengan sikap
sportifitas dalam berkompetisi. Ia belum mampu menerima kekalahan.
Emosinya masih meledak-ledak ketika ia harus menerima kenyataan bahwa ia
kalah atau tidak menjadi nomor 1. Saya dan Bunda Rani, wali kelas
Raffa, sudah berulang kali memberikan nasihat kepada anak ini. tapi
belum ada hasil yang cukup memuaskan. Raffa masih sering marah ketika
harus kalah atau nilai ulangannya lebih rendah dari para
‘kompetitor’nya.
Setelah marahnya mulai reda, saya
menghampirinya. saya berusaha berbicara dari hati-ke hati dengan anak
ini. mencoba menempatkan diri sebagai sahabat.
“kenapa Raffa tadi bersikap demikian
(mengamuk-red)?” tanya saya memulai perbincangan. Ia hanya diam. Mukanya
merah padam seolah memendam kekesalan yang teramat sangat.
“yang harus Raffa pahami adalah dalam
setiap kompetisi pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Kalau hari
ini Raffa kalah, Raffa harus bisa belajar menerima kekalahan. Itulah
yang disebut dengan sportifitas.” imbuhku.
“Tim Raffa sebenarnya tadi bisa menang
yanda, kalau tim-nya Daffa tidak curang.” Ucap Raffa dengan emosi yang
masih meledak-ledak. Tangisannya akhirnya pecah.
“Curang bagaimana maksudnya?” kini giliran saya yang balik bertanya.
“Tadi Raffa lihat, si Tio mengacungkan
tangan lebih dulu, sebelum yanda selesai baca pertanyaannya.” Jelas
Raffa dengan suara parau karena tertahan oleh tangis dan emosi yang
semakin tak terkendali.
“ya sudah, mungkin tadi yanda yang salah
karena kurang teliti. Tapi Raffa juga tidak boleh emosi lagi seperti
tadi. Ingat, ini hanya permainan. Jadi harus bisa menghargai dan
menghormati baik yang menang atau yang kalah. Sekarang masuk ke kelas
ya.” Pintaku
Ia masih tak bergeming. Masih betah
dengan posisi duduknya dengan wajah yang tertunduk. Akhirnya saya coba
tinggalkan dia barang sejenak agar emosinya meredam perlahan.
Beberapa hari kemudian, saya mendapat
selebaran dari salah seorang rekan kerja. Isi selebaran tersebut adalah
undangan mengikuti lomba Spelling Bee di Al Azhar Solo Baru. Sesuai
dengan namanya, Spelling Bee adalah lomba mengeja kata dalam bahasa
Inggris. Karena lomba ini diperuntukkan untuk siswa kelas 1-3,
akhirnya kami mengajukan tiga siswa yang kesemuanya dari kelas 3 untuk
mengikuti kompetisi tersebut. Diantara tiga siswa yang akan mengikuti
kompetisi tersebut, ada nama Raffa yang akan mewakili sekolah.
Sebelumnya saya mengetes kemampuannya mengeja kata dalam bahasa inggris,
dan ketika hasilnya bagus, tanpa ragu saya mengajukan ia untuk mewakili
sekolah dalam ajang kompetisi spelling bee tingkat regional tersebut.
Singkat cerita, akhirnya lombapun di gelar. Lomba ini terdiri dari tiga
babak, yaitu babak penyisihan, semi final dan final. Disemi final
diambil 10 terbaik dari 50 peserta yang berpartisipasi. Alhamdulillah
ketiga siswa saya mampu menembus semi final. Namun ketika berjuang untuk
memperebutkan tiket ke final (3 terbaik) hanya Raffa yang bisa lolos
sampai final. Dua lainnya terhenti di babak semifinal. Singkat cerita,
setelah bertanding di babak final, Raffa mampu menjadi runner up dalam
kompetisi ini. terpancar raut wajah bahagia. “Ini piala pertama Raffa,
yanda. Terima kasih ya yand.” Ucapnya setelah memperoleh piala.
Bulan-bulan berikutnya saat ada undangan
atau informasi lomba bahasa inggris, khususnya spelling bee, Raffa dan
kedua temannya selalu ditunjuk untuk mewakili sekolah. Seperti lomba
spelling Bee yang diadakan oleh lembaga perkursusan ELTI, mereka bertiga
hanya mampu menembus sampai babak semifinal. Nah, disini Raffa kembali
menunjukkan sikap tidak sportifnya. Saat ia terhenti di semifinal, ia
langsung lari keluar ruangan sambil membanting pintu ruang perlombaan.
Mengetahui hal itu, saya pun langsung mengejarnya menuruni tangga lantai
1 bersama 2 temannya, Ziya dan Adzani. Kami mendapati ia duduk di kursi
ruang tunggu, sambil membenamkan wajahnya diantara dua kakinya. Ia
menangis lagi. Akhirnya saya duduk disampingnya, sambil mengelus-elus
pundaknya, saya berkata “Fa, dengarkan yanda. Yanda mengikutsertakan
Raffa dalam kompetisi ini agar Raffa bisa belajar menerima hasil apapun,
baik menang atau kalah. Karena dalam kompetisi pasti akan ada yang
menang dan ada yang kalah. dan kita harus mampu menerima itu.”
“Lihat, Adzani dan Ziya, mereka bisa menerima kekalahan dengan lapang dada. Masak kamu tidak bisa?”
“Iya, fa. Gak apa-apa. Ini kan cuma
perlombaan. Kita bisa coba lagi lain kali. ” ucap Adzani bijak. Anak ini
memang sikapnya lebih dewasa dan tenang. Meski saya juga bisa melihat
raut wajah kecewa dari wajah keduanya.
“Nah, benar kata Adzani. Kalau Raffa
kayak gini sikapnya, yanda akan berpikir ulang untuk mengikutsertakan
Raffa di lomba berikutnya.” Kataku membenarkan ucapan Adzani.
“Sekarang dihapus air matanya. Pada haus tidak? Kita cari minum dulu yuk!” ajakku yang diikuti anggukan ketiganya.
Perlahan, Raffa mulai menunjukkan
perubahan yang positif. Ia sudah jarang terlihat ngambek atau
marah-marah di dalam kelas. Yang lebih sering terlihat adalah canda
tawanya bersama teman-teman kelasnya. Ia juga tidak lagi terlalu
antusias untuk mengetahui bahkan menghitung nilai-nilai yang didapat
teman (kompetitor)nya. Sikap sportifnya semakin terlihat saat ia
mengikuti lomba retelling story di Taman Balekambang, Solo. Ia tampil
bercerita tanpa beban. Bahkan saat mengetahui bahwa ia tidak mendapatkan
juara. Tidak ada tangis atau bahkan letupan-letupan emosi yang sering
terlihat sebelumnya. meski agak kecewa, tapi ia bisa menerima kekalahan
dengan lapang dada dan ikut berbahagia menyaksikan kedua teman
sekelasnya, Ziya dan Anya berhasil menjadi juara satu dan dua. Semoga
ini bisa menjadi titik cerah Raffa belajar menjadi lebih dewasa dan
tidak emosional lagi. Ya, semoga……
source : ahsinmuhsin.wordpress.com