Pendidikan masih menjadi salah satu masalah kritis di negeri ini yang menuntut untuk segera dibenahi. Namun upaya-upaya pembenahan d...
Pendidikan masih menjadi salah satu masalah kritis di negeri ini yang
menuntut untuk segera dibenahi. Namun upaya-upaya pembenahan di bidang
pendidikan tidak pernah menyentuh aspek fundamental dari persoalan ini.
Berbicara problematika pendidikan di Indonesia, maka yang terbayang
adalah biaya pendidikan yang semakin tinggi, kesejahteraan guru yang
tidak seimbang antara pusat dan daerah, pemerataan kesempatan belajar,
ambruknya sekolah-sekolah, angka kelulusan UN yang rendah dan lain
sebagainya.
Namun, hampir tidak pernah diangkat ke permukaan bahwa masalah
sebenarnya yang mendasari berbagai persoalan di atas adalah kerancuan
pemikiran kalangan akademisi, pemerintah dan masyarakat dalam memandang
pendidikan itu sendiri.
Cenderung terjadi pembiaran terhadap kerancuan yang semakin berurat
berakar di masyarakat kita, sehingga pendidikan hanya dilihat secara
parsial, yaitu dari sisi pragmatisnya belaka. Pendidikan tidak dilihat
sebagai sebuah proses melahirkan individu dan masyarakat yang baik, tapi
semata-mata sekadar lembaga untuk melahirkan tenaga kerja murah untuk
memenuhi kebutuhan industri.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masalah utama umat Islam saat ini
adalah pendidikan, atau dengan kata lain, bahwa hampir semua persoalan
yang melilit bangsa ini bermuara dari pendidikan. Karena pendidikanlah
yang telah melahirkan para politisi, agamawan, guru, ekonom, polisi,
hakim, jaksa dan sebagainya. Kekeliruan mereka dalam mengemban amanah
undang-undang dan amanah rakyat (sekaligus juga amanah Allah Ta’ala)
tidak terlepas dari sikap mental dan pola pikir yang terbina saat mereka
masih berada dalam asuhan pendidikan.
Memahami Konsep Adab
Hal ini terungkap saat digelar Diksusi Bulanan ke-22, (Ahad, 09 Mei
2010) di Masjid Abu Bakar Shiddiq Pesantren Husnayain Jakarta Timur.
Diskusi bertema Meluruskan Tujuan dan Praktik Pendidikan ini
menghadirkan narasumber tunggal, Dr. Adian Husaini, MA. (Dewan Dakwah
Islamiyyah Indonesia – DDII/INSISTS).
Dipilihnya tema ini menunjukkan bahwa pendidikan masih (dan akan
selalu) menjadi masalah krusial di negeri ini. Dalam diskusi setengah
hari ini juga diketengahkan konsep ta`diib dengan padanan pendidikan sebagai ganti dari tarbiyah (yang lebih berfokus pada pengembangan fisikal dan emosional manusia) dan ta’liim
(berfokus kepada transfer pengetahuan dan bersifat instruksional
belaka). Ta`diib yang berasal dari kata addaba sudah mencakup di
dalamnya unsur-unsur ilmu, ta’lim dan tarbiyah sekaligus (Konsep Al-Attas tentang Ta`dib: Gagasan Pendidikan yang Tepat dan Komprehensif dalam Islam, Jurnal Islamia, 2005: 80).
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Addabanii Rabbii fa ahsana
ta`diibii” (Allah yang telah mendidikku dan menjadikan baik adabku).
Beliau pun pernah bersabda, “Hak seorang anak atas orangtuanya
adalah: hendaknya memberikan nama yang baik, memberikan pengasuhan yang
baik dan membentuk adab yang baik (an yuhsina adabahu).”
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya yang berjudul The Concept of Education in Islam (1980: 27) mendefinisikan adab sebagai berikut:
pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan
segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan
kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu
mempunyai tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas
tersebut dan dengan kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan
spiritualnya. (Jurnal Islamia, Thn. II No. 6/Juli-September 2005, hlm. 78)
Dengan kata lain, adab adalh kemampuan seorang muslim untuk mengenal
dan mengakui sesuatu sesuai dengan harkat dan martabatnya. Adapun yang
dimaksud dengan ‘pengenalan’ dalam definisi di atas adalah mengetahui
kembali (re-cognize) Perjanjian Pertama (primordial covenant) antara manusia dengan Allah.
Simaklah firman Allah SWT:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi.” (QS. Al-A’raaf [7]: 172).
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi.” (QS. Al-A’raaf [7]: 172).
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘pengakuan’ adalah melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang telah dikenal di atas (Jurnal Islamia, 2005:
78-79) yaitu pengabdian kepada Rabb yang telah dikenal makhluk semenjak
masih berada di alam ruh.
Adab bukan sekadar sopan santun dan keramahtamahan, sebagaimana yang
selama ini kita pahami. Namun adab memiliki dimensi makna yang jauh
lebih luas. Di dalamnya ada hirarki, mana yang lebih diutamakan dan mana
yang dikemudiankan. Dalam aqidah Islam tentu kita menempatkan prioritas
adab kepada Allah, mengenal-Nya sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah dan mengakui ketuhanan-Nya dengan mempersembahkan pengabdian
terbaik kita sebagai hamba-Nya (lihat QS al-An’aam [6]: 162).
Selanjutnya adab kepada Rasulullah SAW. Kita mengenalnya sebagai
utusan Allah yang kita tidak mungkin dapat mengenal-Nya dan tatacara
ibadah kepada-Nya kecuali melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan juga, kita mengakuinya sebagai Rasul dengan terus
berupaya menghidupkan sunnah-sunnahnya yang mulia.
Begitupun adab kepada para ulama yang bukan ulama ‘jadi-jadian’, tapi
ulama waratsatul anbiyaa` (para pewaris nabi-nabi). Ulama yang menjadi
suluh bagi umat dengan tuntunannya yang mennyejukkan. Bukan ulama suu’
(ulama jahat) yang menjual ayat dan menghujat Rasul serta para sahabat
demi segelintir materi yang bisa didapat.
Adab dalam konteks ilmu berarti ketertiban budi yang mengenal dan
mengakui hierarki ilmu berdasarkan kriteria tentang tingkat-tingkat
keluhuran dan kemuliaan, yang memungkinkannya mengenal dan mengakui
bahwa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu jauh lebih luhur
dan mulia dari mereka yang pengetahuannya berdasarkan akal belaka.
Bahwa fardhu ‘ain jauh lebih tinggi daripada fardhu kifayah, dan bahwasanya segala sesuatu yang berisi petunjuk kehidupan jauh lebih mulia dari segala sesuatu yang dipakai dalam kehidupan
(Jurnal Islamia, 2005: 79). Maka, mendidik anak untuk mengenal Allah
dan tahu cara beribadah kepada-Nya adalah lebih utama karena hal itu
adalah kewajiban individual yang tak bisa diwakilkan (fardhu ‘ain).
Sementara penguasaan bidang ilmu tertentu seperti teknik, bahasa dan
ekonomi adalah fardhu kifayah. Namun, di sinilah salah satu akar
masalahnya. Para orangtua dan praktisi pendidikan di sekolah-sekolah
lebih khawatir anak-anak mereka tidak bisa matematika dan bahasa
Inggris, namun mereka tidak peduli ketika anak-anak tidak mengenal
Allah, tidak mengenal Rasulullah dan tidak tahu cara beribadah yang
benar.
Imbas kekeliruan ini semakin kuat dengan pandangan sempit segelintir
orang bahwa Ujian Nasional (UN) adalah segala-galanya (lihat Buletin
Al-Ihsan, UN: Ujian Nasional Bukan ‘Uji Nyali’, 19 Maret 2010). Adalah
aneh, ketika semua anak harus lulus matematika, lulus bahasa Inggris,
fisika dan sebagainya dalam UN, padahal mungkin kompetensi anak yang
sesungguhnya bukan di bidang-bidang tersebut.
Maka, pendidikan (ta`diib) harus berorientasi kepada
pembentukan individu-individu yang dapat mengenal mana yang haq dan mana
yang bathil, serta dapat pula melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan
al-haq (kebenaran) yang dikenalnya dan dapat pula menghindari al-bathil (kebatilan) yang juga telah dikenalnya.
Ta`diib melahirkan individu-individu yang mampu berlaku adil
(menempatkan sesuatu pada tempatnya) dan memerangi kezhaliman
(menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya). Seorang hamba Allah yang
shalih, Luqman, sebagaimana diabadikan dalam al-Qur`an menasihati
anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar“.
(QS. Luqman [31] : 13). Tindakan mempersekutukan Allah dikatakan
sebagai bentuk kezhaliman, karena menempatkan sesuatu makhluk bukan pada
tempat semestinya, melainkan disetarakan dengan Allah, Sang Pencipta
makhluk itu.
Source : islampos.com